Makassar, Orbitimes.com– Nama ‘Nusantara’ bagi Ibu Kota Negara (IKN) baru di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, dianggap sebagai upaya mengabadikan istilah bersemangat persatuan meski diserang isu etnis dan ketidaktepatan makna.
Sebelumnya, Presiden Jokowi resmi memilih Nusantara sebagai nama IKN, mengeliminasi 79 nama lain yang diusulkan. Nama-nama itu di antaranya Negara Jaya, Nusantara Jaya, Nusa Karya, Nusa Jaya, Pertiwipura, Warnapura, Cakrawalapura, hingga Kartanegara.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menjelaskan ‘Nusantara’ dipilih menjadi nama IKN karena sudah dikenal sejak dulu, ikonik, dan menggambarkan kenusantaraan Republik Indonesia.
“Nusantara itu konsep kesatuan yang bersedia mengakomodasi kemajemukan. Melalui nama Nusantara itu mengungkapkan realitas Indonesia,” ujarnya.
Sejumlah pihak menilai pemilihan nama Nusantara untuk kota tertentu ‘mempersempit’ makna Nusantara yang luas. Misalnya, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon, misalnya, menilai istilah Nusantara kurang cocok jika dipakai untuk nama IKN baru.
“Usul saya nama ibu kota langsung saja “Jokowi”. Sama dengan ibu kota Kazakhstan “Nursultan” (dari nama Presiden Nursultan Nazarbayev),” sindir dia, lewat akun Twitter @fadlizon.
Pergeseran Makna
Dosen Sastra Jawa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Rudy Wiratama Partohardono, dikutip dari Antara, Selasa (18/1), mengatakan istilah Nusantara digaungkan sejak zaman Kerajaan Singasari, 1275, dalam bentuk lain dengan makna identik, yakni Dwipantara, dalam konsep Cakrawala Mandala Dwipantara.
‘Dwipa’ berarti pulau, dan ‘antara’ berarti di luar. Ini serupa dengan definisi Nusantara; ‘nusa’ berarti pulau dan ‘antara’ berarti di luar. Dwipantara diartikan sebagai kepulauan di tanah seberang.
Raja Kertanegara mengusung konsep Cakrawala Mandala Dwipantara untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan kepulauan tanah seberang di bawah Singasari demi mencegah ancaman dari Bangsa Mongol yang hendak membangun Dinasti Yuan di China.
Dengan kata lain, Kartanegara bercita-cita menyatukan Jawa dan Dwipantara untuk melawan ancaman itu.
Meski awalnya konsep itu dianggap sebagai upaya penaklukan militer, lambat laun ekspedisi melalui Cakrawala Mandala Dwipantara memperlihatkan upaya diplomatik antara Singasari dan kerajaan-kerajaan tersebut, seperti Kerajaan Melayu.
Arkeolog Universitas Indonesia Agus Aris Munandar dalam buku ‘Gajah Mada: Biografi Politik’, Patih Gajah Mada meneruskan gagasan politik Dwipantara melalui Sumpah Palapa tahun 1336 di era Majapahit.
Dalam sumpah tersebut, Gajah Mada bertekad tidak akan makan buah Palapa (kiasan bagi kesenangan) sebelum dapat menyatukan Nusantara.
Istilah Nusantara secara spesifik merujuk pada semua kepulauan yang hendak dikuasai oleh Majapahit yang menjangkau bagian luar daerah pemerintahan mereka.
Dosen Sejarah Universitas Padjajaran (Unpad) Widyo Nugrahanto menuturkan kata ‘Nusantara’ muncul dalam kitab Negarakertagama, yang merupakan penyebutan orang Majapahit untuk menggambarkan pulau-pulau luar Jawa.
Menurutnya, saat itu kata ‘Nusa’ dan ‘Antara’ menjadi bagian bahasa Jawa Kuno.
Dalam buku Mohammad Yamin ‘Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara’ disebutkan bahwa Nusantara yang berhasil dikuasai Majapahit meliputi seluruh Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Melayu, Nusa Tenggara, Bali, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Saat Majapahit menghadapi era keruntuhan, istilah Nusantara pun kehilangan gemanya dan seolah terlupakan masyarakat.
Memasuki abad ke-20, Ki Hajar Dewantara kembali memperkenalkan kata Nusantara. Widyo mengatakan tokoh pendidikan nasional itu hendak menyaingi istilah ‘Indies, Indi, atau Hindia’ yang tidak sesuai dengan keaslian Hindia Belanda.
Namun, Ki Hajar saat itu tak merujuk Nusantara pada pulau terluar untuk dikuasai, melainkan sebagai alternatif penyebutan Hindia Belanda sebagai padanan kata Indonesia, negara yang terdiri atas pulau-pulau.
Dari runutan sejarah itu, dapat dipahami bahwa beberapa perubahan makna telah terjadi; mulai dari pulau-pulau terluar yang hendak ditaklukkan hingga wilayah yang terdiri dari kepulauan yang dipersatukan.
Widyo menilai sebenarnya kurang tepat menyebut kota dengan nama Nusantara karena kota bukan pulau. Namun, ia menduga pemilihan kata itu merupakan cara Jokowi melestarikan nama tersebut agar tidak dilupakan.
“Sebetulnya kurang tepat menyebut kota dengan nama Nusantara karena kota bukanlah pulau,” kata dia.
“Dugaan saya adalah karena Jokowi ingin melestarikan nama Nusantara tersebut sehingga suatu saat nanti tidak terlupakan oleh generasi yang akan datang,” jelas Widyo.
Walaupun istilah Nusantara akrab diketahui sebagai cara pandang Jawa melalui kekuasaan kerajaan Majapahit, Dosen UGM Rudy Wiratama menyebut istilah itu tidak merujuk pada unsur etnis tertentu.
Menurutnya, Nusantara berasal dari bahasa Kawi dan Sansekerta yang dahulu umum digunakan oleh masyarakat. Terutama bahasa Kawi, bahasa itu digunakan di wilayah Melayu, Jawa, Bali, bahkan Vietnam serta Malaysia.
Alhasil, kata dia, rumor bahwa istilah Nusantara mengarah pada etnis tertentu merupakan pandangan yang kurang tepat.
sumber: cnnindonesia