Orbitimes.com, Jakarta – Tiga tahun tujuh bulan lamanya Harun Masiku jadi buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hingga kini, keberadaan tersangka kasus dugaan suap itu belum diketahui. Sempat beredar kabar Harun bersembunyi di luar negeri.
Kamboja dan Singapura sempat dicurigai menjadi tempat berlindungnya mantan politikus PDI Perjuangan ini. Namun, belakangan, sosok Harun disebut berada di Indonesia. Hal ini diungkap oleh Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Polri Irjen Krishna Murti.
“Ada data pelintasannya yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan ada di dalam negeri,” kata Krishna saat ditemui awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (7/8/2023). Berdasarkan data pelintasan masyarakat, kata Krishna, Harun sempat terdeteksi keluar dari wilayah Indonesia. Namun, selang satu hari setelahnya, ia kembali masuk ke wilayah RI.
Kendati begitu, Krishna mengaku lupa waktu persisnya perlintasan keluar-masuk Harun Masiku.
“Lupa tanggalnya, tapi ada. Sehari setelah dia keluar dia balik lagi,” ujar dia.
Atas dugaan ini, kata Krishna, pihaknya terus melakukan pencarian sosok Harun di dalam negeri, namun juga tak menghentikan pengejaran di luar negeri.
“Kami tidak menghentikan pencarian terhadap yang bersangkutan di luar negeri,” tuturnya.
Sejak ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada Januari 2020, sosok Harun terus menjadi sorotan tajam. Untuk menyegarkan ingatan, berikut kilas balik dugaan suap yang menjerat Harun Masiku.
Harun Masiku merupakan tersangka kasus dugaan suap pergantian antar waktu (PAW) anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 2019-2024. Dia diduga menyuap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Wahyu Setiawan. Tujuannya, supaya KPU menetapkannya sebagai anggota DPR RI.
Kala itu, Harun mencalonkan diri sebagai anggota legislatif PDI-P dari Daerah Pemilihan (dapil) I Sumatera Selatan. Hasil Pemilu 2019 menempatkan Harun di posisi keenam dengan perolehan suara 5.878 di dapilnya.
Ia kalah telak dari Nazarudin Kiemas, adik almarhum suami Ketua Umum PDI P Megawati Soekarnoputri, Taufiq Kiemas, yang berhasil meraup 145.752 suara.
Posisi kedua diisi oleh Riezky Aprilia yang mengantongi 44.402 suara, lalu Darmadi Jufri 26.103 suara, Doddy Julianto Siahaan 19.776 suara, dan Diah Okta Sari 13.310 suara.
Namun, sebelum ditetapkan sebagai anggota legislatif terpilih, Nazarudin Kiemas meninggal dunia. Anehnya, Harun yang menduduki urutan keenam justru diajukan PDI-P menggantikan Nazaruddin.
Padahal, mestinya kursi Nazarudin digantikan oleh calon anggota legislatif (caleg) yang mendapat suara terbanyak kedua yakni Riezky Aprilia.
Belakangan, terungkap bahwa Harun menyuap Wahyu Setiawan Rp 600 juta untuk bisa menjadi anggota dewan.
Begitu kasus ini mencuat, perhatian publik juga tertuju ke PDI-P, partai politik tempat Harun bernaung. Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P Hasto Kristiyanto mengakui, partainya merekomendasikan nama Harun untuk menggantikan Nazarudin Kiemas sebagai anggota legislatif pada Pemilu 2019 melalui proses pergantian antarwaktu (PAW). “Dia (Harun Masiku) sosok yang bersih.
Kemudian, di dalam upaya pembinaan hukum selama ini cukup baik ya track record-nya,” kata Hasto ketika dijumpai wartawan di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta, Kamis (9/1/2020).
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 57 P/HUM/2019, lanjut Hasto, partainya memiliki kewenangan menentukan pengganti anggota legislatif terpilih yang meninggal dunia.
Hasto mengaku, dalam merekomendasikan nama Harun, PDI-P berpegang pada aturan tersebut. “Proses penggantian itu kan ada keputusan dari Mahkamah Agung.
Ketika seorang caleg meninggal dunia, karena peserta pemilu adalah partai politik, maka putusan MA menyerahkan hal tersebut (pengganti) kepada partai,” ujarnya.
Ketua KPU saat itu, Arief Budiman mengungkap, PDI-P tiga kali mengirimkan surat permohonan ke KPU untuk memuluskan Harun Masiku jadi anggota DPR pengganti Nazarudin Kiemas.
“Jadi KPU menerima surat dari DPP PDI Perjuangan sebanyak tiga kali. Surat pertama, terkait putusan atau permohonan pelaksanaan putusan Mahkamah Agung (MA), (surat ini) tertanggal 26 Agustus 2019,” ujar Arief saat jumpa pers di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (10/1/2020).
Berdasarkan putusan MA pada 19 Juli 2019 itu, PDI-P selaku partai pengusung merupakan penentu suara dan pengganti antar-waktu.
Putusan MA inilah yang menjadi dasar bagi PDI-P berkirim surat ke KPU agar Harun Masiku ditetapkan sebagai pengganti Nazaruddin.
Menurut Arief, atas surat pertama ini, KPU sudah menjawab dengan menyatakan tidak dapat menjalankan putusan MA itu. Sementara, surat kedua tertanggal 13 September 2019 dikirimkan PDI-P pada 27 September 2019.
Surat itu berupa permintaan fatwa ke MA yang ditembuskan ke KPU. Oleh karena surat itu berupa tembusan, KPU memutuskan tidak membalas surat tersebut.
“Kemudian, MA mengeluarkan surat atau fatwa tertanggal 23 September 2019. Nah berdasarkan surat atau fatwa MA ini, DPP PDI Perjuangan mengirimkan permohonan lagi kepada KPU dengan surat tertanggal 6 Desember 2019 yang diterima oleh KPU pada 18 Desember 2019,” ujar Arief.
Surat inilah yang disebut KPU sebagai surat ketiga dari DPP PDI Perjuangan. Surat ketiga itu dijawab KPU pada 7 Januari 2020 yang isinya kurang lebih sama dengan balasan untuk surat pertama.
Arief mengatakan, surat yang dilayangkan PDI-P itu dibubuhi tanda tangan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dan Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto.
Di sisi lain, Hasto membantah bahwa partainya melakukan negosiasi dengan KPU terkait PAW Harun. Malahan, Hasto merasa partainya menjadi korban atas framing kasus ini.
“Dalam konteks seperti ini justru kalau kita lihat dari berbagai framing yang dilakukan, PDI-P menjadi sebuah korban dari framing itu,” kata Hasto dalam acara Rakernas dan HUT PDI-P ke-47 di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Minggu (12/1/2020).
Namun demikian, tak lama setelah KPK menetapkan empat tersangka dalam kasus ini, PDI-P memecat Harun.
Harun Masiku ditetapkan sebagai tersangka pada 9 Januari 2020, bersamaan dengan penetapan tersangka Wahyu Setiawan, mantan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Agustiani Tio Fridelina, serta kader PDI-P Saeful Bahri. Tiga orang tersangka dalam kasus ini langsung ditahan KPK.
Sementara, Harun tak diketahui keberadaannya. Saat itu, Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menyatakan, Harun bertolak ke luar negeri dua hari sebelum KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT).
“Tercatat dalam data perlintasan keluar Indonesia tanggal 6 Januari,” kata Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Kemenkumham Arvin Gumilang kepada wartawan, Senin (13/1/2020).
Arvin menyebutkan, ketika itu Harun tercatat meninggalkan Indonesia menuju Singapura.
Ditjen Imigrasi pun belum mencatat kembalinya Harun ke Tanah Air. Tak lama, Ditjen Imigrasi Kemenkumham menyebut bahwa Harun sudah kembali ke Indonesia. Harun disebut bertolak ke luar negeri hanya satu hari.
“Saya sudah menerima informasi berdasarkan pendalaman di sistem termasuk data melalui IT yang dimiliki stakeholder terkait di Bandara Soekarna-Hatta, bahwa HM telah melintas masuk kembali ke Jakarta dengan menggunakan pesawat Batik pada tanggal 7 Januari 2020,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Imigrasi Kemenkumham saat itu, Ronny Sompie, kepada wartawan, Rabu (22/1/2020).
Ronny menuturkan, informasi kepulangan Harun Masiku tersebut baru diketahui karena terdapat kelambatan dalam memproses data perlintasan di Terminal 2F Bandara Soekarno-Hatta, tempat Harun tiba di Indonesia. Sejak awal, informasi tentang keberadaan Harun Masiku simpang siur.
Kabar tak menentu itu terus berlangsung hingga bertahun-tahun. KPK sendiri sudah memasukkan nama Harun dalam daftar pencarian orang (DPO) atau buron tak lama setelah ia ditetapkan sebagai tersangka. Namun demikian, hampir 4 tahun berjalan, sosok Harun tak juga ditemukan hingga kini.
Sementara, dalam kasus ini Wahyu Setiawan telah dijatuhi vonis 6 tahun penjara yang lantas diperberat menjadi 7 tahun oleh Mahkamah Agung (MA).
Sumber : Kompas.com