Makassar, Orbitimes.com – Republik Indonesia pernah mengalami peristiwa penculikan pejabat penting negara yang kemudian dikenang dalam kronik sejarah sebagai gerakan kudeta pertama.
Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang sedang berkunjung ke Solo, Jawa Tengah, tiba-tiba lenyap. Saat itu tanggal 28 Juni 1946, Sjahrir diketahui sedang menginap di sebuah hotel di Solo.
Sebuah gerombolan orang tiba-tiba menyatroni kamarnya. Pintu kamar hotel didobrak, dan dengan gerak cepat militer, Sjahrir dibawa paksa meninggalkan lokasi.
Perdana Menteri RI diculik. Situasi republik yang merdeka belum genap setahun itu, sontak gempar. Dalam situasi genting, dr Soedarsono dan Soedarpo yang lolos dari aksi penculikan masih mengenali pimpinan penculik.
Dalam buku “Kode Untuk Republik, Peran Sandi Negara di Perang Kemerdekaan”, Pratama D Persadha menuliskan kesaksian dr Soedarsono dan Soedarpo. “Gerombolan penculik dipimpin oleh Mayor AK Yusuf mendobrak kamar hotel dan membawa pergi Sutan Sjahrir,” tulis Pratama D Persadha.
Mayor AK Yusuf bukan orang baru bagi Sjahrir. A.K Yusuf pernah memiliki hubungan dengan Sjahrir sebagai murid dan guru.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), AK Yusuf pernah menghuni Asrama Indonesia Merdeka untuk banyak belajar kepada Sutan Sjahrir.
Sementara sejak Sjahrir mulai memimpin kabinet pada November 1945 hingga 1946, situasi politik tanah air terus memanas.
Kelompok Tan Malaka yang semula jalan bersama, berbalik memusuhinya. Sjahrir berada dalam situasi yang terus menerus tegang tanpa mampu mengendalikan.
Rudolf Mrazek dalam “Sjahrir : Politik dan Pengasingan di Indonesia” mengiaskan Sjahrir sebagai jembatan yang rapuh.
Mengutip laporan De Kadt dalam “ Jaren die dubbel telden”, Mrazek menyebut hubungan Sjahrir khususnya dengan Jawa di luar Jakarta sangat lemah.
Pendapat itu diperkuat dengan nota Wertheim dalam “Officiele bescheiden“ yang menulis, “Sjahrir tampaknya juga sangat ragu-ragu ketika mulai memegang kekuasaan”.
Aksi penculikan Perdana Menteri Sutan Sjahrir membuat Presiden Soekarno murka. “Pada tanggal 30 Juni 1946, Presiden Soekarno berpidato di radio mengecam penculikan Sjahrir,” tulis Pratama D Persadha dalam buku “Kode Untuk Republik, Peran Sandi Negara di Perang Kemerdekaan”.
Bung Karno dalam pidatonya meminta para penculik segera membebaskan Sjahrir. Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin mengusulkan kepada Bung Karno untuk mengambil alih jalannya pemerintahan. Saat itu juga Bung Karno menyatakan seluruh Republik Indonesia dalam keadaan darurat.
Situasi makin panas ketika laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) mulai bergerak menuju Solo. Laskar Pesindo merupakan organ sayap Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sutan Sjahrir.
“Pesindo memberikan ancaman perang terbuka kepada para penculik apabila Sjahrir tidak dibebaskan”. Di ibu kota Yogyakarta, pasukan Pemuda Indonesia Maluku (PIM) didatangkan untuk menjaga keselamatan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Dua hari pasca pidato kecaman Bung Karno, Perdana Menteri Sutan Sjahrir dibebaskan. Penculik melepas Sjahrir dari tempat penahanannya di Desa Paras, lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah.
Namun di hari yang sama menimpa Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin. Rumah Amir Sjarifuddin di Kota Baru Yogyakarta, disatroni penculik dan mereka berhasil menerobos masuk. Dua orang pengawal Amir tewas dalam baku tembak.
“Para penculik membawa pergi Amir Sjarifuddin dengan sebuah truk,” tulis Pratama D Persadha. Di tengah perjalanan Amir mampu membebaskan diri dengan merebut pistol sopir truk sekaligus mengancam si sopir untuk mengantarkan dirinya ke gedung kepresidenan.
Pada 3 Juli 1946 pemerintah Soekarno berhasil mengungkap dalang di balik aksi penculikan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Terungkapnya aksi penculikan tersebut disusul penangkapan Panglima Divisi III Mayor Jenderal RP Sudarsono dan Muhammad Yamin.
Keduanya diringkus saat menghadap Bung Karno untuk menyodorkan surat pernyataan pembubaran Kabinet Sjahrir sekaligus mengusulkan pembentukan dewan pimpinan politik yang mempunyai kewenangan politik tertinggi.
Sebelumnya Bung Karno, Bung Hatta dan Amir Sjarifuddin sudah merundingkan situasi yang dihadapi.
“Begitu kedua orang itu selesai menyampaikan tuntutan mereka, keduanya langsung ditangkap,” kata Pratama D Persadha dalam buku “Kode Untuk Republik, Peran Sandi Negara di Perang Kemerdekaan”.
Pemerintahan Soekarno juga menangkap Iwa Kusuma Sumantri, Achmad Soebardjo dan Chairul Saleh yang semuanya merupakan lingkaran inti kelompok Tan Malaka.
Upaya kudeta yang dimulai dengan penculikan Perdana Menteri Sutan Sjahrir pun gagal.
Sumber: Sindonews